Menteri Sekretaris Negara sekaligus Juru Bicara Presiden RI Prasetyo Hadi menyatakan Indonesia siap menampung rakyat Palestina di Gaza, tetapi secara teknis ... [519] url asal
Jakarta (ANTARA) - Menteri Sekretaris Negara sekaligus Juru Bicara Presiden RI Prasetyo Hadi menyatakan Indonesia siap menampung rakyat Palestina di Gaza, tetapi secara teknis keinginan dan rencana evakuasi itu tidak mudah untuk dilaksanakan.
Prasetyo, saat ditemui di Wisma Negara, Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, menyebut rencana evakuasi yang ditawarkan oleh Presiden Prabowo Subianto itu perlu disepakati oleh Pemerintah Palestina dan juga dibicarakan dengan negara-negara lain yang saat ini aktif membantu perjuangan kemerdekaan Palestina.
“Tawaran itu dianggap perlu disetujui, kemudian secara teknis seperti apa kan tidak mudah. Tetapi, itu bagian dari kami Pemerintah Republik Indonesia terus memberikan perhatian kepada saudara-saudara kita di Gaza,” kata Prasetyo Hadi menjawab pertanyaan wartawan.
Prasetyo melanjutkan rencana Presiden Prabowo mengevakuasi rakyat Palestina itu menjadi salah satu isu yang dikonsultasikan oleh Presiden RI saat melawat ke lima negara di Timur Tengah pada 9–14 April 2025. Lima negara tujuan lawatan Presiden, yaitu Uni Emirat Arab, Turki, Mesir, Qatar, dan Yordania.
Menurut Prasetyo, pada prinsipnya, negara-negara itu menyambut baik rencana Indonesia membantu rakyat Palestina di Gaza.
“Secara prinsip setuju. Tetapi, sekali lagi tentunya secara teknis itu kan tidak mudah. Maka dari itu, Beliau (Presiden) terus berkoordinasi, bahwa Kementerian Luar Negeri, Bapak Menlu (Sugiono) terus berkoordinasi, apabila memang ini diterima, dan akan dilaksanakan supaya bisa dapat berjalan dengan baik,” kata Prasetyo.
Jika nantinya ada negara yang tidak setuju, Prasetyo menekankan niat Indonesia membantu rakyat Palestina.
“Semangatnya memang kami mau membantu, bahwa ada negara yang belum setuju ya enggak masalah. Masing-masing punya ini (sikap) sendiri-sendiri. Makanya juga Bapak Presiden tidak gegabah di dalam memberikan penawaran terhadap kehendak pemerintah kita,” sambung Prasetyo.
Rencana evakuasi sementara rakyat Palestina di Gaza diungkap oleh Presiden Prabowo saat jumpa pers di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (9/4) dini hari, sebelum keberangkatannya ke Abu Dhabi, UAE.
Presiden Prabowo mengatakan Indonesia siap menampung untuk gelombang pertama lebih kurang 1.000 orang warga Palestina di Gaza, terutama mereka yang luka-luka, mereka yang mengalami trauma, dan anak-anak yatim piatu.
"Kami siap akan kirim pesawat-pesawat untuk angkut mereka. Kami perkirakan jumlahnya 1.000 untuk gelombang pertama," kata Presiden.
Namun, Presiden menekankan rencana itu hanya dapat berjalan manakala mendapatkan "lampu hijau" dari otoritas Palestina, pihak-pihak terkait, dan wajib memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.
"Syaratnya adalah semua pihak harus menyetujui hal ini. Kedua, mereka di sini hanya sementara sampai pulih kembali dan pada saat pulih dan sehat kembali, kondisi Gaza sudah memungkinkan, mereka harus kembali ke daerah mereka berasal. Saya kira itu sikap Pemerintah Indonesia. Untuk itu, saya harus konsultasi kepada pemimpin daerah tersebut," kata Prabowo.
Di Amman, Yordania, etape terakhir lawatannya di Timur Tengah, Senin (14/4), Presiden Prabowo mengungkap akan ada terobosan soal kepentingan rakyat Palestina di Gaza berdasarkan hasil konsultasi dengan pemimpin di lima negara tujuan lawatannya, yaitu UAE, Turki, Mesir, Qatar, dan Yordania.
"Alhamdulillah, kita dapat update yang jernih, kita berharap mungkin dalam waktu dekat akan ada terobosan ke arah yang baik tentunya," kata Presiden Prabowo menjawab pertanyaan wartawan saat ditemui di Amman, Yordania, Senin.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden RI Prabowo Subianto mengkritisi sikap negara-negara barat yang menerapkan standar ganda dalam menyikapi isu hak asasi manusia, khususnya terkait krisis kemanusiaan di Gaza, Palestina. Kritik Prabowo disampaikan dalam Forum Diplomasi Antalya 2025, di Turki, Jumat,
Pada kesempatan itu, Presiden Prabowo menyoroti inkonsistensi sejumlah negara barat yang dulu gencar mengampanyekan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun, faktanya kini justru bungkam melihat pelanggaran HAM yang terjadi secara terang-terangan di Palestina.
"Banyak negara barat datang ke Indonesia 30 tahun lalu dan mengajari kami tentang HAM, demokrasi. Kami belajar dari mereka. Tapi, sekarang, saat kita semua melihat pelanggaran HAM terang-terangan di depan mata, banyak dari mereka justru diam," ujar Prabowo dalam pernyataannya yang diikuti secara daring Antalya Diplomacy Forum di Jakarta.
Menurut Kepala Negara, diamnya negara-negara yang selama ini mengklaim diri sebagai penjaga nilai-nilai universal menimbulkan kesadaran baru bagi negara-negara di global selatan. "Ini menyedihkan, tetapi ini membangunkan kami. Kami jadi sadar, oh, begitu ya?" lanjutnya.
Presiden Prabowo menegaskan bahwa tragedi kemanusiaan di Gaza bukan hanya soal politik luar negeri, tetapi juga cerminan dari kegagalan tatanan global dalam menjunjung keadilan dan kemanusiaan.
Tidak tinggal diam
Dalam pidatonya, Presiden juga menekankan bahwa Indonesia tidak akan tinggal diam melihat penderitaan rakyat Gaza dan kawasan sekitarnya akibat konflik berkepanjangan.
“Bagaimana mungkin anak kecil berusia enam tahun dianggap bersalah? Bagaimana mungkin ibu tak bersenjata dibom, kehilangan rumah, kehilangan segalanya? Ini sulit diterima akal sehat,” ujar Presiden Prabowo diikuti dalam jaringan (daring) Antalya Diplomacy Forum di Jakarta, Jumat.
Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan rencananya untuk mengevakuasi 1.000 warga Gaza ke Indonesia. Prabowo mengatakan evakuasi bisa dilakukan dengan syarat semua pihak terkait menyetujuinya.
"Syaratnya adalah semua pihak harus menyetujui hal ini, kedua mereka (warga Gaza) di sini hanya sementara sampai pulih sehat kembali dan pada saat mereka pulih dan sehat kembali, kondisi Gaza sudah memungkinkan mereka harus kembali ke daerah mereka asal," ucapnya dalam keterangan pers di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (9/4/2025) dini hari, dikutip daridetikNews, Jumat (11/4/2025).
Keputusan Prabowo untuk mengevakuasi warga Gaza pun menimbulkan polemik. Salah satunya dari Pakar Hukum Internasional dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Fajri Matahati Muhammadin, SH, LL M, Ph D.
Fajri merespons bahwa rencana persis Prabowo sebenarnya belum diketahui rinciannya. Apakah itu hanya untuk bantuan medis dan bagaimana proses pengembalian warga Gaza setelah dari Indonesia.
"Maksudnya, sepaham saya ada 1.000 yang mau dibawa ke Indonesia untuk sementara mendapatkan penanganan medis. Sementara, artinya akan dikembalikan lagi (bukan permanen)," ucapnya kepada detikEdu, saat dihubungi Jumat (11/4/2025).
"Tapi, saya belum tahu: warga Palestina yang diungsikan ini maksudnya diambil dari luar atau dalam Gaza atau bagaimana, lalu berapa lama, dan bagaimana arrangement pengembaliannya (bagaimana, ke mana, dll.)," imbuhnya.
Berpotensi Menjadi Masalah Besar
Fajri menilai, rencana Prabowo sebenarnya ada baiknya, tapi lebih banyak buruknya. Terutama keterkaitan dengan isu lain, seperti Tarif Trump hingga menyoal penjajahan itu sendiri.
"Menurut saya rencana ini ada baiknya dan ada (banyak) buruknya. Baiknya, betul rakyat Palestina banyak sekali yang membutuhkan bantuan medis (tidak cuma 1.000). Andai Indonesia bisa memberi bantuan bagi lebih banyak, tentu akan lebih baik," ujarnya.
"Mungkin juga, kalau benar ini terkait dengan tawar-tawaran dengan Trump soal tarif, bisa jadi membantu menegosiasikan masalah tarif," tambahnya.
Ia menyebut, keburukan dari rencana ini yakni terkait dengan rencana zionis dan Trump. Rencana yang dimaksud adalah mengosongkan Gaza dan meminta negara-negara lain (termasuk Indonesia) untuk menampung warga Palestina.
Jika itu terjadi, menurutnya, akan semakin memberi ruang untuk para zionis sepenuhnya memiliki tanah tersebut. Dalam hal ini, Indonesia sudah pernah membuat statement menolak untuk mendukung rencana tersebut.
"Tapi kok langkah ini seperti satu langkah dari mendukung kebijakan Trump dan zionis tersebut. Nah, sekali lagi saya kurang tahu bagaimana arrangement untuk pengembaliannya 1.000 warga Palestina ini nanti," kata Dosen di Departemen Hukum Internasional tersebut.
"Maka ini akan jadi potensi masalah besar, misalnya nanti pemulangannya dipersulit lalu ditunda, lalu jangan-jangan malah ditambah lagi warga Palestina yang disuruh kita evakuasi 'sementara'," lanjutnya.
Potensi masalahnya, imbuh Fajri, yakni karena pemulangan ke Palestina wajib bekerja sama dengan zionis. Untuk membuat 'evakuasi sementara' menjadi 'evakuasi tetap' saat pemulangan, berpotensi dipersulit dan diulur-ulur.
"Dan kita ketahui zionis punya track record kuat bermain-main begini, apalagi punya dukungan dari Trump," imbuhnya.
Alih-alih merencanakan evakuasi 1.000 warga Palestina, Fajri menyebut lebih baik mengirim lebih banyak dokter dan tenaga medis Indonesia untuk membantu korban-korban di Palestina.
"Pikir saya, daripada kita menegosiasikan membawa 1.000 orang Palestina ke Indonesia untuk mengobati mereka di Indonesia, jauh lebih baik membawa 1.000 dokter dan tenaga medis Indonesia ke Palestina untuk mengobati mereka di sana," katanya.
Khawatir dengan Manipulasi Diplomasi
Menyoal rencana ini, lebih jauh, Fajri menjelaskan bahwa pengusiran paksa warga Palestina merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity). Itu juga sekaligus kejahatan perang (War Crime) yang sudah terjadi selama berpuluh tahun.
Maka dari itu, terkait rencana evakuasi ini, ia khawatir dengan kemungkinan adanya manipulasi diplomasi.
"Zahirnya, langkah Pak Prabowo ini sekilas kelihatan bukan seperti mendukung kejahatan tersebut. Tapi saya khawatir dengan segala manipulasi diplomasi seperti ini, langkah ini akan 'termainkan' untuk turut mendukung kejahatan tersebut," tuturnya.
Secara umum, ketika ditanya apakah langkah Presiden Prabowo sudah tepat dalam merespons situasi di Gaza, ia menilai salah langkah.
"Salah langkah sekali kalau menurut saya," tutur Fajri.