Ratusan mahasiswa di Jawa Timur menolak RUU Kejaksaan yang dinilai memperburuk sistem hukum. Mereka mendesak perbaikan substansial, bukan perluasan kewenangan. [655] url asal
Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Pemuda Mahasiswa Jawa Timur deklarasi menolak RUU yang dinilai memperburuk sistem hukum di Indonesia. Mereka menegaskan perlunya perbaikan yang lebih substansial, yakni bukan soal kewenangan kelembagaan yang diperluas.
Deklarasi disampaikan di tengah forum diskusi yang digagas Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI). Diskusi ini dihadiri berbagai aktivis, praktisi hukum dan mahasiswa di Hotel Pelangi Dua, Jalan Simpang Gajayana, Kota Malang, Kamis (20/2/2025).
Hadir sebagai narasumber dari akademisi dan praktisi hukum, di antaranya Ketua Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Merdeka (Unmer) Malang, Dr. H. Supriyadi, S.H., M.H., Advokat sekaligus Praktisi Hukum, Firdaus, serta Aktivis Syarif Hidayatullah.
Dalam forum itu, para peserta membedah pasal yang dinilai rancu dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dalam sistem peradilan di Indonesia.
Firdaus selaku praktisi hukum menilai, penambahan wewenang kejaksaan dalam materi RUU Kejaksaan harus dipertimbangkan lebih banyak. Adanya materi dalam aturan tersebut, semakin memperjelas tumpang tindih kewenangan dan dapat memperburuk sistem hukum yang ada.
"Sebuah pekerjaan yang semakin dilebarkan justru membuatnya semakin tidak jelas dan lepas dari tanggung jawab. Seharusnya, bukan memperlebar kewenangan institusi, melainkan memperkuat pengawasan," kata Firdaus.
Firdaus juga menyoroti Pasal 28, di mana memberikan kewenangan penyidikan kepada kejaksaan. Menurut Firdaus, hal ini menjadi persoalan serius karena penyidikan seharusnya merupakan kewenangan kepolisian.
"Kejaksaan juga diberi wewenang untuk menghentikan penyidikan. Ini rancu, karena dua instansi diberikan kewenangan yang tumpang tindih. Dalam praktiknya, hal ini justru akan menyulitkan penyelesaian perkara," tegasnya.
Menurut Firdaus, hal tersebut tidak boleh dilakukan di sebuah negara demokrasi. Sebab, setiap warga negara dan atau lembaga diposisikan setingkat dan apabila melakukan kasus tindak pidana, segera diproses hukum seperti halnya bila ada anggota kepolisian yang diduga melakukan korupsi, maka langsung ditangkap dan diproses.
"Namun dalam RUU Kejaksaan, satu perkara yang ditangani polisi dan bisa diberhentikan oleh Kejaksaan. Lalu, siapa yang bertanggung jawab? Ini tidak jelas dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum," bebernya.
Sebagai solusi, Firdaus menekankan perlunya perbaikan yang lebih substansial. Yakni bukan soal kewenangan kelembagaan yang diperluas. Melainkan memasukkan Komisi Pengawasan Kejaksaan (KPK).
"Itu yang seharusnya diatur, bukan malah menambah tumpang tindih kewenangan," tambahnya.
Sementara itu, Dr. H. Supriyadi, S.H., M.H., dari Universitas Merdeka Malang menambahkan, perubahan dalam sistem hukum harus didasarkan pada efektivitas dan kepastian hukum, bukan justru menimbulkan kebingungan baru.
"Jika sistem ini tetap dipaksakan, dikhawatirkan akan semakin menambah ketidakpastian dalam proses penegakan hukum," ujar Supriyadi terpisah.
Di akhir diskusi, seluruh peserta yang hadir menyatakan sikap dengan melakukan deklarasi penolakan RUU Kejaksaan.
Mereka menilai, rancangan ini justru dapat melepas tanggung jawab dan semakin membuat runyam sistem peradilan di Indonesia.
"Kami menolak karena ini bukan sekadar soal regulasi, tetapi soal kepastian hukum bagi masyarakat. Sistem yang tumpang tindih hanya akan merugikan rakyat," tegas Syarif Hidayatullah.
Deklarasi para aktivis, praktisi hukum dan mahasiswa Jawa Timur menjadi bentuk perlawanan akademik dan aspirasi dari kalangan mahasiswa serta praktisi hukum yang berharap agar pemerintah dan legislatif mempertimbangkan kembali rancangan aturan tersebut sebelum disahkan.
Dengan adanya kritik dan masukan dari berbagai pihak, diharapkan sistem hukum di Indonesia dapat berjalan lebih transparan, adil, dan bertanggung jawab.