Jakarta -
Ahli hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Titi Anggraini, mengusulkan Pilpres-Pileg dan Pilkada tidak digelar di tahun yang sama. Titi mengusulkan ada jeda 2 tahun untuk pelaksanaan Pilpres-Pileg dan Pilkada.
"Pelaksanaan Pemilu serentak nasional memilih DPR, DPD dan presiden dimulai tahun 2029, dan pemilu serentak lokal memilih DPRD dan kepala daerah dimulai tahun 2031, jeda 2 tahun," kata Titi dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi II DPR RI, di gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2025).
"Baru kemudian 2032 seleksi serentak penyelenggara Pemilu dilakukan," sambung dia.
Titi mengatakan pelaksanaan Pilpres-Pileg dan Pilkada di tahun yang sama menjadi beban berat penyelenggara pemilu. Selain itu, menurutnya, keserentakan itu juga mengganggu fokus dan konsentrasi peserta pemilu.
"Pilkada di tahun yang sama dengan Pileg dan Pilpres, beban berat akibat himpitan tahapan Pemilu dan Pilkada. Mengganggu profesionalitas penyelenggara, fokus peserta, serta konsentrasi dan orientasi masyarakat atas proses Pemilu dan Pilkada," ujarnya.
Kemudian, Titi juga mengusulkan agar sistem Pemilu menjadi campuran. Di mana, kata dia, pemilih tetap dapat langsung calonnya, serta peran partai politik sebagai peserta Pemilu tetap terjaga.
"Sistem Pemilu yang bisa menjadi opsi adalah sejatinya sistem Pemilu campuran, supaya kita tidak lagi berdebat terkait proporsional terbuka, proporsional tertutup, padahal variasi sistem Pemilu dunia itu ada 400 lebih," ujarnya.
"Kenapa kemudian opsinya adalah sistem Pemilu campuran, karena dalam sistem Pemilu campuran ada dua karakter yang dimaknai oleh MK, bagaimana memberi porsi kedaulatan rakyat untuk memilih langsung calonnya dan juga menjaga peran partai politik sebagai peserta Pemilu untuk mempromosikan kader-kadernya," imbuh dia.
Selain itu, dia juga mengusulkan agar alokasi kursi sesuai dengan putusan MK Nomor 80/PUU-XX/2022 yakni 50% untuk Pulau Jawa dan 50% untuk luar Pulau Jawa. Selanjutnya, keterwakilan perempuan juga diusulkan diberlakukan zipper system.
"Penguatan kuota minimal 30% pencalonan keterwakilan perempuan pemberlakuan zipper system, silang-seling antara caleg laki-laki dan perempuan dalam daftar calon partai," tuturnya.
(amw/gbr)Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu