
Respons Hukuman Mati Koruptor, Pakar Hukum Henry: Harus Dibarengi Perbaikan Sistem
Terungkapnya korupsi hingga ratusan triliun membuka ruang diskusi penerapan hukuman mati bagi koruptor. Kasus PT Pertamina, PT Timah, dan PT Antam, mencerminkan... | Halaman Lengkap
(SINDOnews Ekbis) 18/03/25 20:08 99828
JAKARTA - Terungkapnya korupsi hingga ratusan triliun membuka ruang diskusi penerapan hukuman mati bagi koruptor . Kasus PT Pertamina, PT Timah, dan PT Antam, mencerminkan keresahan publik yang kian memuncak.Kemudian banyak yang mengusulkan penerapan hukuman mati untuk menimbulkan rasa takut dan efek jera.
Pakar Hukum Prof Henry Indraguna menilai persoalan tersebut bukan hanya soal lemahnya pelaksanaan aturan, tetapi juga desain sistem yang kerap dimanipulasi oleh politisi korup dan kekuatan finansial oligarki.
Ada juga yang mengusulkan penerapan hukuman mati ini juga berlaku para aparat penegak hukum (APH) yakni polisi, jaksa, hakim, penasihat hukum, juga KPK.
"Hukuman mati, misalnya untuk penegak hukum akan memberi efek jera sementara. Tanpa perbaikan sistem, korupsi akan terus berulang," ujar Henry, Selasa (18/3/2025).
Menurut dia, kasus-kasus korupsi jumbo seperti Jiwasraya, Pertamina, PT Timah, dan PT Antam menunjukkan pola bahwa pelaku utama di level atas sering lolos, sementara pion yang menjadi pelaksana justru dijadikan tumbal.
Henry yang juga Penasihat Ahli Balitbang DPP Golkar memandang tindakan menempatkan hukum di bawah politik memungkinkan pemilik modal besar atau oligarki hitam mendanai politisi untuk melindungi kepentingan mereka.
"Selalu ada wacana, siapa pun yang menduga justru malah diminta membuktikan. Bahkan ketika data-data yang bisa menjadi alat bukti dilampirkan sebagai laporan, ternyata juga mandek. Ini membuktikan bahwa rakyat tak punya kuasa membuktikan. Tak punya wewenang memeriksa saksi, bahkan tak punya akses untuk melakukan investigasi," ungkap Henry.
Dia menilai tidak menjadi jaminan bahwa hukuman mati adalah solusi terbaik. Sebab, jika hukum masih bisa diintervensi kekuatan politik atau kekuasaan bisa saja membuat orang tak bersalah akhirnya didakwa korupsi karena tak sejalan dengan kekuasaan.
"Lalu bagaimana jika sudah dieksekusi mati? Tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menghidupkan orang yang sudah mati kan?" ucapnya.
Saat ini publik hanya bisa menekan kekuasaan untuk tidak mengintervensi hukum. Tekanan juga bisa diberikan kepada penegak hukum untuk bertindak profesional.
"Tekanan publik bisa melalui media mainstream atau media sosial serta solidaritas civil society jadi kunci. Misalnya dengan mengungkap data kecil yang bisa diviralkan," katanya.
Dari hal-hal kecil ini bisa menjadi pijakan dan membiasakan keberanian para penegak hukum untuk tidak tebang pilih. Bisa saja fokus awal pada kasus lokal yang lebih mudah dibuktikan untuk jadi pijakan menuju skandal besar.
"Sebagus apa pun sistemnya jika kendalinya di tangan yang salah, hukuman seberat apa pun tak akan cukup," ujar Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.
(jon)