
Terkait Rencana Pemindahan Warga Gaza oleh Trump, Para Ahli Hukum Internasional Angkat Bicara
Rencana pemindahan warga Gaza oleh Trump ditolak ahli hukum internasional sebagai pelanggaran hukum.
(Kompas.com) 28/01/25 10:17 62202
GAZA, KOMPAS.com - Rencana Presiden AS Donald Trump untuk memindahkan warga Gaza ke Mesir dan Yordania mendapat penolakan keras dari para ahli hukum internasional.
Mereka menilai, pemindahan paksa atau deportasi penduduk sipil, baik secara keseluruhan maupun sebagian, merupakan pelanggaran hukum internasional dan dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang.
Menurut hukum humaniter internasional, tindakan tersebut menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan jika dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap warga sipil.
Hal ini tercantum dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional.
"Aturan ini merupakan hukum kebiasaan internasional, yang mengikat semua negara yang tidak terus-menerus menolaknya," ungkap Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dalam laporan yang dikutip dari Middle East Eye pada Senin (27/1/2025).
Menurut Ardi Imseis, profesor Hukum Internasional di Universitas Queen dan mantan pejabat PBB, keinginan Trump untuk merelokasi warga Palestina secara massal dari Jalur Gaza yang diduduki adalah ilegal dan tidak realistis.
"Berdasarkan hukum humaniter internasional dan hukum pidana internasional, pemindahan paksa secara individu atau massal, serta deportasi orang-orang yang dilindungi dari wilayah pendudukan ke wilayah kekuasaan pendudukan atau ke wilayah negara lain mana pun, yang diduduki atau tidak, itu dilarang, apa pun motifnya," terangnya.
ICRC menekankan, larangan ini bertujuan untuk mencegah kekuasaan pendudukan merampas dan menjajah wilayah pendudukan melalui pembersihan etnis, seperti yang terjadi pada masa Nazi Jerman selama Perang Dunia Kedua.
Meski demikian, beberapa pejabat Israel, termasuk menteri keuangan sayap kanan Bezalel Smotrich, mendukung usulan Trump.
Smotrich menyambut baik gagasan tersebut sebagai langkah untuk memungkinkan warga Palestina membangun kehidupan baru di tempat lain.
Namun, Francesca Albanese, pelapor khusus PBB untuk Palestina, mengecam pernyataan tersebut. "Pembersihan etnis sama sekali bukan pemikiran baik, tidak peduli bagaimana orang mengemasnya. Itu ilegal, tidak bermoral, dan tidak bertanggung jawab," ujarnya.
Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri, Kaja Kallas, menyatakan, Uni Eropa mendukung solusi dua negara, meskipun tidak secara langsung mengutip pernyataan Trump.
"Gaza dan rakyat Gaza telah banyak menderita. Saya pikir baik Palestina maupun Israel layak mendapatkan perdamaian dan itulah sebabnya kita benar-benar perlu beralih dari gencatan senjata ke perdamaian yang lebih permanen," jelasnya.
Kallas juga menyebutkan, UE siap untuk memindahkan misinya ke perbatasan Rafah antara Gaza dan Mesir untuk memfasilitasi pengangkutan bantuan kemanusiaan.
Bagi warga Palestina, seruan untuk pemindahan massal mengingatkan pada pembersihan etnis yang mereka alami selama pembentukan Israel pada tahun 1948, yang dikenal sebagai Nakba, di mana 750.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Saat ini, pemukim Israel dan pejabat sayap kanan telah mendorong rencana untuk memindahkan secara paksa warga Palestina dari wilayah Gaza dan menggantinya dengan pemukim Israel.
Sebagian besar dari 1,1 juta penduduk Gaza utara telah dipaksa pindah ke selatan akibat perintah pengusiran Israel ketika perang pecah 15 bulan lalu.
Namun, perjanjian gencatan senjata terbaru antara Israel dan Hamas telah menghentikan rencana pemindahan ini, setidaknya untuk sementara waktu.
Pada Senin kemarin, warga Palestina mulai kembali ke rumah mereka di utara, yang sebagian besar telah hancur akibat pengeboman Israel.
Imseis, penulis buku The UN and the Question of Palestine, menilai gagasan Trump sebagai angan-angan yang tidak realistis.
"Siapa pun yang memiliki pengetahuan dasar tentang masalah Palestina akan tahu bahwa orang-orang Palestina tidak akan pernah menerima pembersihan etnis dari tanah mereka mengingat sejarah hidup mereka," tegasnya.
"Negara Arab mana pun tidak akan menerima ini, terutama Mesir dan Yordania," tutup Imseis.