
Hari HAM dan Kekhawatiran Masyarakat Papua di Surabaya
Di Hari HAM, mahasiswa Papua di Surabaya berharap Presiden Prabowo Subianto bersedia membuka ruang demokrasi untuk masyarakat Papua. Apa tuntutannya? Halaman all
(Kompas.com) 09/12/24 21:50 21562
SURABAYA, KOMPAS.com - Pembahasan mengenai isu sosial dan lingkungan bagi masyarakat Papua, tentu tak hanya berlaku di kampung halaman saja, tetapi pun meluas hingga ke tanah rantau, seperti Surabaya.
Jauh dari kampung halaman terkadang membuat Yulius Magai -salah satu mahasiswa Papua di Surabaya, merasa cemas melihat permasalahan di Tanah Papua yang seperti gunung es.
“Kami aktif berkoordinasi dengan kawan-kawan di sana (Papua) untuk memantau situasinya seperti apa,” kata dia kepada Kompas.com, Senin (9/12/2024).
Banyak orang mengatakan, mahasiswa adalah agent of change, Yulius dan kawan-kawan asal Papua lainnya di Surabaya aktif mengawal isu-isu yang sedang ramai dibicarakan.
“Kami memang orang Papua, tapi kami juga menyuarakan Pakel di Banyuwangi. Kemudian untuk sektoral di Surabaya, kami membahas penggusuran di stren Kalijagir,” ucap dia.
Deretan kasus pelanggaran HAM berat pada 1998 yang tak kunjung menemukan angin segar. Juga, penembakan Munir dan pembunuhan Marsinah turut menjadi bagian dari perjuangan mereka.
“Isu pokoknya memang Papua seperti penembakan Tobias Silak di Kabupaten Yahukimo yang sampai hari ini teman-teman di sana masih mencari keadilan,” ujar Yulius.
Tidak hanya di momen peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM), yang jatuh setiap tanggal 10 Desember, pada banyak kesempatan mereka pun menyuarakan aspirasinya.
Seperti sepekan lalu, Aliansi Mahasiswa Papua di Surabaya menggelar unjuk rasa di depan Gedung Grahadi untuk menolak adanya program transmigrasi.
“Kami bukannya rasis kepada orang-orang pendatang, tetapi ada catatan penting bahwa program transmigrasi otomatis membuat lahan-lahan milik masyarakat digunakan oleh mereka (pendatang),” ungkap dia.
Seperti halnya Kota Jayapura yang kian maju justru semakin banyak dipenuhi oleh pendatang dan kemudian masyarakat lokal kian termarginalkan.
Tak ingin persoalan itu meluas ke kota-kota lain, masyarakat Papua sepakat untuk menolak transmigrasi.
“Di Merauke juga banyak perusahaan-perusahaan yang mengelola kelapa sawit tapi tenaga kerjanya dari luar jadi orang-orang asli semakin tersingkir,” sebut dia.
Khawatiran itu juga muncul dari investasi di Tanah Papua yang semakin meningkat. Bagi mereka, sumber daya alam yang terus digerus membuat ekosistem alam kian terancam.
“Hari ini kita bisa lihat kalau misalnya di beberapa jurnal provinsi termiskin ya Papua tapi penyumbang Sumber Daya Alam juga Papua,” tutur Yulius.
Yulius dan kawan-kawannya memilih tak berharap banyak terhadap kepada Menteri HAM, Natalius Pigai dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, Bahlil Lahadalia.
“Mau kami setuju atau tidak kami tidak ambil pusing. Mau dia jadi Menteri HAM atau tidak, dia bagian daripada sistem,” ungkapnya.
Di Hari HAM ini, dia bersama mahasiswa Papua lainnya berharap Presiden Prabowo Subianto bersedia membuka ruang demokrasi untuk masyarakat Papua.
“Yang ingin saya sampaikan secara fundamental, yaitu menentukan nasibnya sendiri sebagai hak Bangsa Indonesia. Kan itu sudah diakui secara konstitusi,” ujar dia.
Sudah genap empat tahun Yulius menjadi anak rantau di Surabaya sejak berstatus sebagai mahasiswa aktif Fakultas Teknik di salah satu kampus swasta di Surabaya.
Tidak jarang dia dan kawan-kawannya mendapat perlakuan diskriminasi di ruang umum. Salah satunya saat mengantre di stasiun, Yulius diminta menjaga jarak dengan pelanggan lain.
“Terus teman-teman kalau mau cari kos itu katanya sudah penuh padahal masih ada (tersedia),” keluh dia.
Namun, dia bersyukur jika kumpulan pelajar yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua di Surabaya dapat tinggal di satu asrama yang sama.
“Di sini sekarang kami aman, nggak ada protes dari warga. Malah sering kalau ada kegiatan kami diundang sama RT/RW dan kami dikirimin makanan,” cetus dia.
#masyarakat-papua #transmigrasi #isu-kemanusiaan #pelanggaran-ham