
Hukum dan Syarat Sah Mahar dalam Pernikahan Islam, Serta Larangannya
Mahar merupakan salah satu syarat yang hukumnya wajib dalam pernikahan. Islam menetapkan syarat tertentu agar mahar menjadi sah. Simak berikut penjelasannya.
(Detik) 30/04/25 08:00 128778
- Pengertian dan Hukum Mahar dalam Pernikahan Islam
- Syarat Sah Mahar dalam Pernikahan Islam 1. Barang yang Suci dan Bermanfaat2. Barang yang Dapat Diserah-terimakan3. Berupa Harta Bernilai4. Berupa Barang Halal
- Mahar yang Dilarang 1. Mahar dari Barang Terlarang2. Mahar dengan Barang Cacat3. Mahar yang Ditetapkan untuk Ayah Pihak Perempuan4. Mahar Bercampur dengan Jual Beli5. Mahar yang Memberatkan6. Mahar yang Tidak Memiliki Nilai
Saat seorang pria mengucapkan janji pernikahan dengan wanita yang dicintainya, ia juga menyerahkan sejumlah barang, uang, atau harta lainnya kepada wanita tersebut. Pemberian ini dikenal sebagai mahar atau maskawin.
Dalam ajaran Islam, mahar merupakan salah satu syarat yang hukumnya wajib dalam pernikahan. Mahar bukan sekadar simbol kasih sayang, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap calon istri.
Oleh karena itu, Islam menetapkan syarat-syarat tertentu agar mahar sah diberikan dalam akad nikah. Namun perlu diketahui juga, terdapat jenis-jenis mahar yang dilarang karena bertentangan dengan prinsip syariat.
Pengertian dan Hukum Mahar dalam Pernikahan Islam
Dalam buku Fikih Pernikahan oleh Achmad Ngarifin, dijelaskan makna mahar merupakan pemberian dalam pernikahan sebagai salah satu wujud pemuliaan Islam terhadap wanita. Secara bahasa, kata mahar berarti harta yang wajib diberikan sebab pernikahan dan dalam tata bahasa Indonesia mahar juga disebut sebagai maskawin.
Mahar merupakan salah satu syarat agar ijab qobul dianggap sah. Secara umum para ulama sepakat bahwa keabsahan mahar sama dengan beberapa syarat untuk dijadikan tsaman (jai), yakni sesuatu yang memenuhi syarat-syarat tsaman di dalam akad jual-beli baik berupa barang, jasa atau hutang.
Madzhab Syafi\'i mengartikan mahar sebagai harta yang wajib diserahkan sebab nikah, hubungan seksual, hilangnya keperawanan, ataupun karena kematian. Dalam fiqih, mahar juga bisa disebut dengan istilah الصّدَاقُ (shidaq) yang diambil dari kata الصدق (shidg) yakni artinya adalah sungguh-sungguh mahar ini sebagai bentuk kesungguhan rasa cinta seorang pria kepada wanita yang akan dia nikahi.
Syariat mewajibkan yang membayar mahar adalah seorang pria atau calon suami, dengan pertimbangan fisik yang dimiliki oleh pria lebih kuat daripada seorang wanita sehingga mereka mampu untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan. Dalil dasar disyaratkannya mahar sebelum adanya kesepakatan para ulama" (ijma) dapat kita simak didalam al-Qur\'an surat An-Nisa\' ayat 4:
وَاتُوا النِّسَآءَ صَدُفْيِهِنَّ نِحْلَةً
Artinya: "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan."
Hukum mahar dalam pandangan fiqih adalah wajib, sebagai bentuk pemuliaan Islam terhadap wanita dan menunjukan bahwa wanita merupakan makhluk yang patut dihargai dan mempunyai hak memiliki harta. Mahar juga menunjukkan dalam pernikahan syariat Islam tidak hanya mementingkan salah satu pihak saja, melainkan juga melihat kemaslahatan dari kedua belah pihak. Rasulullah SAW pernah bersabda sewaktu ada sahabat yang hendak menikah:
الْتَمِسْ وَلَوْخَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ
Artinya: "Berikanlah (mahar) walaupun cincin dari besi." (HR Bukhari Muslim)
Syarat Sah Mahar dalam Pernikahan Islam
Dirangkum dari buku karya Achmad Ngarifin dan buku Hukum Hafalan Al-Qur\'an dan Hadis Sebagai Mahar Nikah oleh Muhammad Jafar, mahar dalam Islam baiknya memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Barang yang Suci dan Bermanfaat
Mahar harus berupa barang yang suci. Benda najis seperti darah, bangkai, anjing dan babi tidak sah untuk dijadikan mahar. Selain suci, juga tentunya harus memiliki manfaat, seperti halnya seperangkat alat salat atau harta yang dapat ditabung oleh mempelai wanita.
2. Barang yang Dapat Diserah-terimakan
Mahar harus berupa barang yang dapat diserahkan oleh pihak laki-laki dan dapat diterima oleh pihak perempuan. Membayarkan mahar yang berupa ikan yang masih berenang di laut lepas, atau burung-burung yang sedang terbang hukumnya tidak sah.
Mahar harus berupa barang yang keadaannya jelas, serta diketahui tempat jelasnya dan bukti sahnya. Mahar yang tidak disebutkan secara spesifik atau tidak diketahui keadaannya tidak dianggap sah. Barang yang dijadikan sebagai mahar harus berada di bawah kekuasaan pihak laki-laki, tidak diperbolehkan mahar yang dighosob atau bukan milik sendiri.
3. Berupa Harta Bernilai
Mahar haruslah berupa barang yang memiliki nilai. Tidak ada batasan terkait jumlahnya, bahkan mahar dalam jumlah kecil tetap sah asalkan bernilai. Setiap manusia berbeda-beda tingkat ekonominya, maka nash syariat mengisyaratkan tidak ada batas minimum atau maksimum dari mahar dalam wujud nominal.
Bisa ditarik kesimpulan bahwa memang mahar tidak memiliki batas minimal. Diperbolehkan mahar berupa cincin dari besi, jasa mengajarkan Al-Qur\'an, seperangkat alat salat dan lainnya, yang terpenting kedua belah pihak rela dan ridho atas hal tersebut.
Namun jika kita meneladani dari Rasulullah bisa kita ketahui bahwa disunahkan mahar tidak melebihi 500 dirham dan tidak kurang dari 10 dirham (1 dirham = 2 Gram perak).
4. Berupa Barang Halal
Mahar haruslah bukan barang ghasab atau barang rampasan. Ghasab berarti mengambil barang orang lain tanpa izin meskipun dengan niat mengembalikannya. Mahar yang berasal dari barang ghasab tidak sah, meskipun akad nikahnya tetap dianggap sah. Mahar haruslah berupa barang yang sifatnya halal.
Mahar yang Dilarang
Mahar memiliki hikmah atau tujuan, yakni sebagai bentuk pemuliaan Islam kepada wanita. Di zaman jahiliyyah, wanita tidak memiliki hak sehingga urusan mahar sangat bergantung kepada walinya. Orang tua wanita yang menentukan mahar, menerimanya, dan membelanjakannya untuk dirinya sendiri.
Sedangkan pengantin wanita tidak punya hak sedikitpun atas mahar itu dan tidak bisa membelanjakannya. Maka datanglah Islam menyelesaikan permasalahan ini dan melepaskan beban serta mewajibkan mahar kepada wanita bukan kepada ayahnya.
Pemberian mahar akan memberikan pengaruh besar pada hubungan pernikahan antara suami dan istri berupa ikatan tali pernikahan yang kokoh dan kuat, serta wujud nyata kepemimpinan suami. Seperti tertuang dalam ayat berikut:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا انْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ
Artinya: "Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS An-Nisa ayat 34)
Dalam ajaran Islam terdapat beberapa jenis mahar yang tidak diperbolehkan. Pada buku Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Jilid 2 karya Ibnu Rusyd, terjemahan Al Mas\'udah, dijelaskan beberapa bentuk mahar yang tidak sah menurut ajaran Islam sebagai berikut:
1. Mahar dari Barang Terlarang
Mahar ini berupa benda-benda yang dilarang seperti khamr (minuman beralkohol), daging babi, buah yang belum matang sempurna, atau hewan seperti unta yang terlepas. Apabila mahar menggunakan barang-barang tersebut, maka keabsahan akadnya menjadi bahan perdebatan. Imam Abu Hanifah berpendapat akad tetap sah jika terdapat mahar mitsil, sementara Imam Malik berpendapat bahwa akad menjadi rusak dan batal, baik istri telah digauli maupun belum.
2. Mahar dengan Barang Cacat
Menurut Imam Syafi\'i, jika mahar yang diberikan cacat, istri berhak meminta kompensasi berupa harga barang tersebut. Di kesempatan lain, beliau juga berpendapat bahwa istri bisa meminta mahar mitsil. Sementara dalam mazhab Maliki, istri berhak menerima pengganti berupa barang sejenis.
3. Mahar yang Ditetapkan untuk Ayah Pihak Perempuan
Dalam kasus ini, apabila seorang pria menikahi wanita dengan mensyaratkan sebagian mahar diberikan kepada ayah si wanita, maka praktik tersebut dianalogikan seperti wakil dalam transaksi jual beli yang mengharuskan pemberian untuk dirinya. Menurut hukum Islam, pernikahan semacam ini tidak diperbolehkan.
Pendapat Umar bin Abdul Aziz, Ats-Tsauri, dan Abu Ubaid. Abu Dawud, Nasa`i, dan Abdurrazzaq meriwayatkan dari Amru bin Syu\'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang berkata bahwa Rasulullah bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ عَلَى حِبَاءٍ قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحَ فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ، وَأَحَقُّ مَا أُكْرِمَ الرَّجُلُ عَلَيْهِ ابْنَتُهُ وَأُخْتُهُ
Artinya: "Wanita mana pun yang menikah dengan mahar pemberian sebelum akad nikah dilakukan, maka itu miliknya. Tetapi apa-apa yang diberikan setelah akad nikah, maka itu milik orang yang diberi. Orang yang paling berhak menghormati seseorang adalah anak perempuan dan saudara perempuannya."
4. Mahar Bercampur dengan Jual Beli
Mahar bercampur dengan jual beli yang dimaksud seperti istri menyerahkan budak lelaki pada suaminya, kemudian suaminya membayar berupa seribu dirham untuk mahar istrinya, namun di dalamnya juga terdapat harga untuk membayar budak tersebut.
Imam Syafi\'i dalam Al-Umm 10: Kitab Induk Fiqih Islam Edisi Terjemahan menjelaskan, "Apabila seorang perempuan menikah dengan seorang lelaki dengan mahar berupa sesuatu yang tidak dapat dijadikan upah (ju\'l), seperti ketika seseorang berkata, \'Saya nikahkan Anda dengan mahar bahwa Anda harus menyerahkan kepada saya budak saya yang melarikan diri...\' atau dia berkata, \'Saya nikahkan Anda dengan mahar bahwa Anda harus menyerahkan kepada saya unta milik saya yang melarikan diri...\' Jika itu yang terjadi, maka semua syarat itu hukumnya tidak boleh, tetapi pernikahan yang dilakukan itu tetap sah dan si istri berhak menerima mahar yang wajar baginya."
5. Mahar yang Memberatkan
Mahar yang memberatkan juga dilarang dalam ajaran Islam. Melansir Buku Pintar Fikih Wanita karya Abdul Qadir Manshur disebutkan bahwa mahar bukanlah tujuan dari pernikahan, melainkan hanya sebagai simbol ikatan cinta kasih.
Pernikahan dengan mahar yang ringan justru dikatakan bisa membawa keberkahan dalam rumah tangga. Sebagaimana dikatakan dalam hadits, diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya pernikahan yang paling banyak berkahnya adalah yang paling sedikit biayanya." (HR Ahmad)
6. Mahar yang Tidak Memiliki Nilai
Meskipun Islam melarang mahar yang memberatkan pihak mempelai pria, mahar yang tidak memiliki nilai pun termasuk dalam kategori mahar yang terlarang. Dalam buku Walimah Cinta karya Ummu Azzam disebutkan bahwa Islam memberikan kemudahan bagi laki-laki yang tidak mampu memenuhi permintaan mahar bernilai tinggi dari calon istri, yakni dengan cara mencicil atau mengangsur mahar tersebut. Mahar yang diperbolehkan dalam Islam harus memiliki nilai, baik berupa emas, seperangkat alat salat, maupun sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan calon istri.
Nah itulah tadi hukum, syarat, hingga larangan mahar yang sah dalam pernikahan Islam. Wallahua\'lam.
(aau/fds)
#pernikahan #mahar #islam #muhammad-jafar #bidayatul-mujtahid-wa-nihayatul-muqtashid-jilid-2 #rasulullah-saw #hr-ahmad #buku-pintar-fikih-wanita #pernikahan-islam #umar-bin-abdul-aziz #ats-tsauri #syafi-039