
Penahanan Ijazah Karyawan, Praktik Eksploitasi yang Perlu Payung Hukum Jelas
Praktik penahanan ijazah karyawan di Indonesia dianggap eksploitasi yang merugikan buruh. Apa dampaknya bagi tenaga kerja? Halaman all
(Kompas.com) 16/04/25 07:59 117747
SURABAYA, KOMPAS.com – Praktik penahanan ijazah karyawan oleh perusahaan di Indonesia dinilai sebagai bentuk eksploitasi yang melemahkan posisi tawar buruh.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara dunia ketiga lainnya.
Pernyataan tersebut disampaikan Khalid Syaifullah, sosiolog masyarakat agraris dan kebijakan publik dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), saat ditemui Kompas.com di Gedung 17 Fisipol Unesa, Selasa (15/4/2025).
"Penahanan ijazah itu salah satu alasannya adalah untuk melemahkan bargaining politik para buruh," kata Khalid.
Menurutnya, dengan menahan ijazah, perusahaan dapat mencegah buruh melakukan protes atau menolak perintah atasan yang terkadang berada di luar kontrak kerja yang telah disepakati.
"Kalau mereka melakukan itu, maka konsekuensinya akan berat. Ijazahnya akan ditahan dan itu membuat mereka tunduk," ujarnya.
Dampak serius bagi tenaga kerja
Praktik penahanan ijazah ini berdampak merugikan bagi para pekerja.
Khalid menjelaskan bahwa ijazah merupakan modal utama bagi pekerja untuk mencari pekerjaan yang lebih baik.
"Dalam istilah Marx, ijazah itu menjadi semacam surat kepemilikan atas komoditas tenaga kerja mereka, yang bisa mereka perjualbelikan," ujarnya.
Ketika ijazah ditahan, pekerja tidak dapat mencari pekerjaan di tempat lain.
Meskipun tidak memiliki data pasti, Khalid meyakini banyak pekerja yang ijazahnya ditahan dan tidak bisa ditebus, sehingga mereka terpaksa beralih ke sektor informal karena tidak memiliki dokumen legal untuk melamar pekerjaan formal.
Celah hukum yang dimanfaatkan
Khalid mengkritisi anggapan bahwa penahanan ijazah sah-sah saja berdasarkan persetujuan kedua belah pihak, padahal praktik ini tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
"Ada hubungan yang timpang antara pemilik perusahaan dengan para pekerja ketika melakukan kontrak."
"Pekerja, apalagi di situasi sekarang, adalah pihak yang sangat membutuhkan pekerjaan, sehingga pilihan menahan ijazah terpaksa mereka ambil," ungkapnya.
Lebih lanjut, ketiadaan hukum yang jelas menjadi lahan eksploitasi bagi perusahaan.
Menurut Khalid, peraturan yang samar seringkali disukai oleh perusahaan dan juga pemerintah, terutama pemerintah daerah.
"Dengan begitu mereka bisa berkongkalikong dengan pihak perusahaan untuk meraup keuntungan, bisa dalam bentuk upeti atau cara lainnya," tegasnya.
Khalid merujuk pada riset berjudul "State and Illegality" yang menunjukkan bahwa praktik ilegalitas sering terjadi di wilayah hukum yang abu-abu, yang sengaja dikondisikan oleh stakeholder seperti pemerintah dan pengusaha untuk meraup keuntungan.
Peran pemerintah daerah yang berat sebelah
Dalam penyelesaian kasus penahanan ijazah, pemerintah daerah (Pemda) atau pemerintah kota (Pemkot) seharusnya berperan sebagai mediator dalam perundingan bipartit atau tripartit.
Namun, Khalid menilai peran ini seringkali problematik.
"Kadang-kadang Pemda/Pemkot sebagai mediator juga seringkali berat sebelah, biasanya memihak para perusahaan," katanya.
Adanya demonstrasi buruh setiap May Day yang menuntut kenaikan upah minimum regional (UMR) menunjukkan bahwa perundingan antara buruh dan perusahaan dengan mediator Pemda atau Pemkot melalui organisasi perangkat daerah (OPD) seringkali cenderung memenangkan pihak perusahaan.
Populisme politik vs solusi berkelanjutan
Menanggapi langkah Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, yang turun langsung menangani kasus penahanan ijazah, Khalid melihatnya sebagai cara populis yang sudah banyak dilakukan pendahulu seperti Tri Rismaharini atau bahkan mantan Presiden Joko Widodo.
"Politik kita masih mengandalkan politik ketokohan, dan itu biasanya tidak berkelanjutan. Setelah tokohnya ganti atau tokohnya dapat tawaran politik yang menggiurkan, biasanya apa yang dilakukan berhenti, bubar, dan digantikan oleh cara-cara lama," ungkapnya.
Khalid menilai, meskipun cara tersebut tampak tepat untuk jangka pendek, tidak akan berkelanjutan.
Diperlukan mekanisme penyelesaian yang komprehensif untuk menjamin para buruh memiliki posisi tawar di hadapan perusahaan.
#undang-undang-ketenagakerjaan #penahanan-ijazah #eksploitasi-buruh #khalid-syaifullah